Cari Blog Ini

Selasa, 24 Januari 2012

Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama


Korupsi di negeri ini sudah menjadi budaya yang mengendap dalam sikap permisifisme, koncoisme, dan imbalan jasa, seakan tak ada dosa dalam melakukannya. Kalau memang sumua urusan lancar dan dianggap tak melanggar aturan, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah jalan alternatif yang layak dipilih.


Terang-terangan secara berjamaah korupsi diselenggarakan. Tidak perlu bersembunyi seperti maling kacangan. Buku Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama hasil olah garap penyunting Hardiansyah Suteja ini membedah korupsi dari perspektif fikih dan teologi agama muatan gabungan perbandingan pemikiran Ormas Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Meski banyak cara pemberantasan korupsi telah ditempuh oleh berbagai pihak, upacara korupsi tetap jadi tradisi yang merugikan banyak pihak. Buku ini hadir mengisi ruang aksi yang belum terisi itu. Dalam buku ini diterangkan bahwa korupsi tidak akan terjadi di tengah seseorang memiliki keimanan. Artinya, koruptor itu orang yang tidak beriman.

Pemikiran Muhammadiyah mengawalinya dari asas kepemimpinan, yaitu amanah (dapat dipercaya), keadilan, dan amar ma’ruf nahi munkar. Seorang pemimpin yang dapat dipercaya, tuntutan tentang keadilan tidak ada karena dia sudah dipercaya.

Kalau dia berbuat tidak adil, maka setiap orang harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mencegahnya. Korupsi, dalam bingkai kepemimpinan, menempatkan asas terakhir kepemimpinan itu di tempat yang paling utama. Sementara NU mengawali pembahasan korupsi dari pola paradigmatik tentang eksistensi manusia.




Manusia diciptakan Tuhan memiliki tugas sebagai khalifah (menajer Tuhan di bumi), dan sekaligus abdun (hamba) yang menyembah Tuhan. Tugas manusia hanya menjadi hamba Tuhan. Dia tidak boleh menghamba kepada harta, takhta, apalagi wanita.

Koruptor adalah orang yang telah diperbudak oleh kehinaan harta. Dari segi kepemimpinan, NU memandang korupsi sebagai pelanggaran kepemimpinan publik dengan menggarong harta publik dan merugikan kepentingan publik. Sebagai hamba, manusia adalah pemimpin bagi dirinya. Kepemimpinannya di sini bersifat personal.

Namun, sebagai khalifah, manusia yang diamanati jabatan oleh banyak orang (amanat jabatan publik), harus mentasarrufkan harta publik (APBD/APBN) untuk kemaslahatan umum.

Dalam pandangan NU maupun Muhammadiyah, korupsi adalah perbuatan dosa besar yang tidak bisa diampuni. Sama dengan syirik (menyekutukan Tuhan). Karena itulah, koruptor disebut sebagai orang yang tidak beriman, alias kafir.

Peresensi adalah M Abdullah Badri, studi akhir di IAIN Walisongo, Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar