Korupsi di negeri ini sudah menjadi budaya yang mengendap
dalam sikap permisifisme, koncoisme, dan imbalan jasa, seakan tak ada dosa
dalam melakukannya. Kalau memang sumua urusan lancar dan dianggap tak melanggar
aturan, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah jalan alternatif yang
layak dipilih.
Terang-terangan secara berjamaah korupsi diselenggarakan.
Tidak perlu bersembunyi seperti maling kacangan. Buku Koruptor Itu Kafir:
Telaah Fiqih Korupsi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama hasil olah garap
penyunting Hardiansyah Suteja ini membedah korupsi dari perspektif fikih dan
teologi agama muatan gabungan perbandingan pemikiran Ormas Islam Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama.
Meski banyak cara pemberantasan korupsi telah ditempuh oleh
berbagai pihak, upacara korupsi tetap jadi tradisi yang merugikan banyak pihak.
Buku ini hadir mengisi ruang aksi yang belum terisi itu. Dalam buku ini
diterangkan bahwa korupsi tidak akan terjadi di tengah seseorang memiliki
keimanan. Artinya, koruptor itu orang yang tidak beriman.
Pemikiran Muhammadiyah mengawalinya dari asas kepemimpinan,
yaitu amanah (dapat dipercaya), keadilan, dan amar ma’ruf nahi munkar. Seorang
pemimpin yang dapat dipercaya, tuntutan tentang keadilan tidak ada karena dia
sudah dipercaya.
Kalau dia berbuat tidak adil, maka setiap orang harus
melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mencegahnya. Korupsi, dalam bingkai
kepemimpinan, menempatkan asas terakhir kepemimpinan itu di tempat yang paling
utama. Sementara NU mengawali pembahasan korupsi dari pola paradigmatik tentang
eksistensi manusia.
Manusia diciptakan Tuhan memiliki tugas sebagai khalifah
(menajer Tuhan di bumi), dan sekaligus abdun (hamba) yang menyembah Tuhan. Tugas
manusia hanya menjadi hamba Tuhan. Dia tidak boleh menghamba kepada harta,
takhta, apalagi wanita.
Koruptor adalah orang yang telah diperbudak oleh kehinaan
harta. Dari segi kepemimpinan, NU memandang korupsi sebagai pelanggaran
kepemimpinan publik dengan menggarong harta publik dan merugikan kepentingan
publik. Sebagai hamba, manusia adalah pemimpin bagi dirinya. Kepemimpinannya di
sini bersifat personal.
Namun, sebagai khalifah, manusia yang diamanati jabatan oleh
banyak orang (amanat jabatan publik), harus mentasarrufkan harta publik
(APBD/APBN) untuk kemaslahatan umum.
Dalam pandangan NU maupun Muhammadiyah, korupsi adalah
perbuatan dosa besar yang tidak bisa diampuni. Sama dengan syirik (menyekutukan
Tuhan). Karena itulah, koruptor disebut sebagai orang yang tidak beriman, alias
kafir.
Peresensi adalah M Abdullah Badri, studi akhir di IAIN
Walisongo, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar