Eko Djatmiko S
Peristiwa gerakan
mahasiswa tahun 1978 yang dikenal dengan peristiwa Malari (Malapetaka Lima
Januari) merupakan goresan sejarah yang tidak akan pernah dilupakan bangsa ini.
Saat itu, ribuan mahasiswa dengan gagah berani mengkritisi kebijakan Orde Baru
yang dinilai sudah melenceng dari cita-cita serta harapan masyarakat.
Salah satu aktivis
mahasiswa yang sangat terkenal saat itu adalah Hariman Siregar sebagai Ketua
Umum Senat Mahasiswa Universitas Indonesia.
Dan salah satu tokoh gerakan mahasiswa yang lain adalah Eko Djatmiko
Sukarso yang saat itu menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia.
Tidak banyak yang
tahu dokter gigi yang menjadi birokrat ini sejatinya adalah seorang aktivis
gerakan mahasiswa. Tidak heran jika lembaga pemerintahan yang dipimpinnya pun
dikelola dengan pola dan tangan seorang aktivis mahasiswa sehingga berwajah
lebih ramah, bersahaja dan paling penting berpihak serta orientasi kepada
kepentingan masyarakat banyak.
Sesungguhnya sejak di
bangku sekolah hingga kuliah Ekodjatmiko Sukarso sudah menjadi ‘aktivis di
lembaga pendidikannya’ seperti Wakil Ketua Osis di SMAN 3 Surabaya hingga Ketua
Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi di Universitas Indonesia.
Setelah lulus kuliah,
ia dipercaya sebagai asisten dosen di almamaternya, lalu sejumlah jabatan
organisasi diembannya seperti Ketua Bidang Organisasi Iluni UI (1978-1984),
Sekretaris Umum Persatuan Dokter Gigi Indonesia/PDGI (1980-1982), kemudian
Ketua Umum PDGI Jakarta (1982-1986), anggota Komisi Pembibitan dan Pembinaan
KONI Pusat (2000-2003), Direktur Kelembagaan dan Kehormatan Persatuan Bulu
Tangkis Seluruh Indonesia (2002-2005).
“Pada dasarnya saya
adalah seorang workcholic (maniak kerja, red). Istri pertama saya pekerjaan,
kemudiaan istri kedua adalah pendamping saya itu,” kata Ekodjatmiko yang kini
menjabat sebagai Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB), Ditjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.
Belum lagi beberapa
aktivitasnya di tempat lain yaitu sebagai anggota di Komnas Lansia (Depsos),
Pokja Peker-ja Anak (Depnaker), Pokja Pembauran (Depdagri), pemerhati eks napi
dan eks PSK (Depsos).
Tentunya masih ada
waktu luang yang digunakan untuk nonton televisi, baca atau bertemu dengan
teman-teman. “Dulu saya senang main tenis, tapi karena ada sakit jantung
ringan, maka dokter tidak menganjurkan olah-raga yang berat,” katanya.
Filosofi pendidikannya
yaitu memberdayakan masyarakat melalui pendidikan untuk mencapai kompetensi
hidupnya. “Percuma kita punya uang, kemudian sekolah di lembaga pendidikan yang
terbaik, tapi ketika lulus kita tidak bisa menghidupi untuk diri sendiri
apalagi orang lain,” katanya.
Ia memandang bahwa
maksud dan tujuan kita dalam mendidik orang seperti yang diamanatkan UUD dan UU
Sisdiknas, bagaimana hasil pendidikan itu mencapai kompetensi untuk hidup.
“Nah, dalam pendidikan itu otak kiri dan otak kanan mesti seimbang,” katanya.
Seraya memakai
pandangan seorang pakar pendidikan bahwa untuk mencapai sukses hidup hanya
digunakan 20 persen otak kiri dan 80 persen otak kanan. Tapi yang kini terjadi
muncul kurikulum yang baku, KBK, KTSP, belum lagi dengan ujian nasional.
“Makanya tidaklah
heran tingkat kelulusan kita masih diragukan oleh masyarakat, apalagi bagi
dunia kerja. Targetnya hanya lulus, bukan dite-kankan pada tingkat
kompetensinya. Ada anak yang Juara Olimpiade Fisika Internasional, tapi dia tak
lulus Ujian Nasional. Sekarang kita mau menganut yang mana?” katanya.
Kurikulum akademik
hanya mengandalkan 20 persen otak kiri untuk mereka bisa hidup, semestinya kita
mesti mengandalkan otak kanan sebanyak 80 persen. Kecerdasan
otak kanan meliputi emosional, mental, intuisi, sikap, daya cipta, spontanitas,
visual. Sedangkan otak kiri mene-kankan kecerdasan logika, daya analisis, daya
ingat, bahasa, mate-matika dan IPA.
“Artinya otak kanan
bisa dimanfaatkan untuk life skill yang meliputi social skill, personal skill,
vocational skill. Sehingga setiap individu itu memi-liki kompetensi. Katanya
kita mau mandiri!” papar Ekodjatmiko.
Visi & Misi
Pada direktorat yang
dipimpinnya, ia mencoba menerjemahkan bagaimana cara mengelola ‘residual
education’ yaitu pendidikan bagi anak yang ’susah-susah’ se-Indonesia ini yang
tidak bisa lagi dilakukan oleh instansi lain.
UU Sisdiknas 20/2003
pada Pasal 32 Ayat 1 tentang pendidikan khusus (PK) seperti untuk orang cacat,
kemudian anak cerdas istimewa dan bakat istimewa. “Semua itu ngurusnya susah.
Seperti halnya anak super tidak ada sekolah khusus yang menangani mereka secara
khusus di Indonesia,” katanya.
Disebutkan pula pada
Pasal 32 Ayat 2 tentang pendidikan layanan khusus (PLK) seperti anak-anak yang
memerlukan pendidikan yang akses georafisnya tidak terjangkau seperti pulau
terpencil, di pegunungan. Ini disebut “cacat geografis”.
Ada guru SD di
Kabupaten Wamena Papua yang berada di wilayah pegunungan, dia mesti berjalan
kaki setengah berlari hingga dua malam menuju sekolah tempat dia mengajar.
“Eselon dua ingin
bertemu kami di sana memakan waktu satu hari. Dia naik motor hingga ujung
kampung, tapi tidak tersedia jalan ke atas. Sehingga dia jalan kaki,” katanya.
Belum lagi anak-anak
korban bencana alam atau gempa, anak-anak pengungsian, anak pekerja, anak
gelandangan, anak korban trafficking, anak TKI, lapas anak dan anak-anak dari
kaum keluarga miskin. “Ini urusan pendidikan yang susah-susah. Sehingga menurut
Mendiknas hal ini dikerjakan oleh direktorat khusus orang yang mengurusi PK dan
PLK,” katanya.
Kemudian pendidikan
inklusi yang merupakan model pendidikan tren dunia. Artinya pendidikan dalam
satu sekolah yang tidak membedakan perbedaan atau keterbatasan anak dalam
proses belajar mengajar.
Inklusi ini menjadi
penting ke depan. Karena supaya sekolah itu bisa menerima segmen masyarakat
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan layak. Tidak ada perbedaan antara
anak kaya dan anak miskin dalam satu sekolah.
“Sekolah harus
menerima mereka, karena ada amanat dari konstitusi UUD dan APBN sebagian
dianggarkan untuk model sekolah ini,” tegasnya.
Apakah makin berat?
“Ya jelas, tapi ini amanat dari UU dan UUD. Menangani anak penyandang cacat
hanya sepertiga dari urusan PK dan PLK. Paradigmanya adalah kami bukan saja
mengurusi anak cacat saja, tapi adanya UU Sisdiknas dan UUD seperti itu maka
urusan diatas juga kami tangani,” katanya.
Sebagai manusia biasa
mengem-ban tugas seperti ini mesti berniat untuk mensukseskan program ini,
Illahi Ta’ala, dan berserah diri. “Adalah tidak mungkin ditangani sendiri.
Apalagi dengan tenaga dan anggaran yang terbatas. Sehingga perlu kerjasama
dengan pada out shorching,” katanya.
Diantara out
shorching tersebut adalah LSM, asosiasi-asosiasi kecacatan, sembilan perguruan
tinggi yang memiliki jurusan PLB (Pendidikan Luar Biasa) dan dengan semua
institusi dibidang psikologi dan teknologi. “Untuk memuluskan program tersebut,
sejumlah MoU telah dilakukan dengan perguruan tinggi diantaranya UGM, ITB,
Unpad, UNS, Unair, Unber, UMU, UMS,” katanya.
Eko mengungkapkan
pula guru-guru di SLB kebanyakan berusia 45-an tahun. Beberapa SLB yang
dijumpai usianya mencapai 30 tahun sebanyak 8 orang, usia di bawah 25 tahun
tidak ada. “Jarang ada guru yang ingin mendidik di SLB. Kecuali dia yang
memiliki anak cacat, atau yang terpanggil jiwa sosialnya. Yang kami temui
dilapangan, kebanyakan guru yang latar belakang pendidikannya diluar PLB,” kata
Eko mengungkapkan.
Di penghujung
kariernya sebagai abdi masyarakat di Direktorat PLB. Tentu banyak pelajaran
terpetik dari sosok pria bergaya seniman, aktivis dan politisi ini. “Saya
harapkan apa yang baik selama ini sudah teman-teman lakukan bersama saya dapat
terus dipertahankan dan menjadi lebih baik lagi,” harapnya. (f10/vc2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar